Jumat, 05 Februari 2010

fropil sanggar merahputih makassar

Sanggar Merah Putih Makassar (SMPM) adalah komunitas kesenian yang mengambil peran sebagai media transformasi nilai sosial dan kebudayaan dalam arus perubahan masyarakat. Sejak didirikan pada 20 Mei 1978, Sanggar Merah Putih Makassar telah aktif melakukan kerja-kerja kesenian dan kebudayaan.

Telah cukup banyak karya seni yang dihasilkan oleh Sanggar Merah Putih Makassar sebagai wujud kepeduliannya terhadap pengembangan kesenian dan kebudayaan. Karya-karya seni tersebut pada umumnya berangkat dari fenomena-fenomena sosial kemasyarakatan, sebab juga dipahami bahwa kesenian memiliki tanggungjawab untuk menggugah kesadaran positif masyarakat.
Dengan tujuan pengembangan kapasitas anggotanya, Sanggar Merah Putih Makassar secara rutin melakukan proses kreatifitas. Sanggar Merah Putih Makassar juga melakukan proses rekruitmen anggota melalui Latihan Dasar Kesenian (Latar Seni). Proses ini juga dimaksudkan untuk melahirkan aktivis-aktivis kesenian yang berkapasitas baik.

Sanggar Merah Putih Makassar membuka diri untuk menjalin kerjasama dengan multipihak sebagai upaya untuk terus tumbuh dan berbagi.

Visi dan Misi

Visi : Pusat Pengembangan Kesenian Dan Kebudayaan

Misi :

1. Melakukan kerja-kerja kesenian dan kebudayaan sebagai komitmen kolektif sumberdaya SMPM dalam menyempurnakan tatanan kehidupan bersama.
2. Sebagai komunitas kesenian yang peduli terhadap fenomena-fenomena sosial kemasyarakatan
3. Sebagai komunitas kesenian yang mandiri dalam proses mengaktualisasikan potensi sumber daya kreatifitas anggota
4. Mewujudkan kerja-kerja kesenian dan kebudayaan sebagai media transformasi nilai sosial dan kebudayaan

Alamat :
Kompleks Gedung Kesenian Societeit de Harmonie
Jl. Ribura'ne No.15 Makassar
Blog Web : merahputih1978.blog.com
email : merahputih1978@yahoo.co.id This e-mail address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it
READ MORE - fropil sanggar merahputih makassar

Penyair dan Telurnya

Oleh : Sutardji Calzoum Bachri

ENGKAU bilang puisi adalah dunia tersendiri sambil masih bertanya apakah hubungan puisi dengan realitas. Memang ungkapan yang serasa sudah menjadi klise itu-puisi adalah sebuah dunia-cenderung bisa disalah-pahami seakan puisi dan realitas bagaikan dua dunia terpisah mutlak satu sama lainnya. Hendaklah dipahami ketika engkau sedang menulis puisi atau karya sastra lainnya engkau sedang menulis di atas tulisan. Engkau tak mungkin menulis di atas kertas kosong.

Alam, sejarah, ikhwal, kejadian sehari-hari, sudah tertulis atau sedang menulis dirinya sendiri, dan ketika engkau menulis puisi engkau menulis di atasnya.

Puisi sebagaimana halnya imajinasi adalah upaya pembeba- san dari realitas, karena itu ia membutuhkan realitas. Eksistensi imajinasi hanya mungkin bila terpaut dengan realitas. Seperti imajinasi tentang perahu, kapal, takkan mungkin bila tak ada sungai atau lautan. Imajinasi menolak dan membebaskan diri dari realitas bagaikan dayung atau baling-baling kapal menolak dan membutuhkan sungai atau lautan. Engkau tak mungkin menulis di atas kertas kosong. Engkau menulis puisi di atas tulisan.

Mana mungkin ilham menyambarmu dan imajinasi mengurai dalam bait-bait sajakmu, kalau engkau tidak berdiri di suatu realitas.

Imajinasimu bisa aneh, eksentrik, sangat defamiliar, atau bagai bohong karena ia menolak realitas, namun bagaima-napun ia bertolak dari realitas dan karena itu ia membutuh-kannya.

Bahkan imajinasi yang “bohong” sekalipun membutuhkan fakta, realitas, untuk kondisinya agar bisa disebut bohong. Karena ia membutuhkan setakat fakta, setakat realitas tertentu, imajinasi cenderung mengandung setakat kejujuran.

Jangan heran kalau penguasa zalim risau terhadap karya sastra atau puisi, walaupun itu “cuma” fiksi.

Karena menulis sastra adalah menulis di atas tulisan (realitas), maka menulis pada hakikatnya pula menyembunyikan menyimpan, mengandung, menindih, melapis realitas.

Suatu saat engkau menulis bagaikan menusir foto realitas. Engkau tebalkan garis hidungnya, engkau panjangkan janggutnya, engkau hitamkan ubannya, engkau kasarkan kumisnya, dan engkau menciptakan foto lain yang beda dari foto sebelumnya (realitas). Dan realitas sekadar membayang dari bawah tulisanmu.

Menulis pada hakikatnya kegiatan meletakkan realitas di dalam posisi di bawah tulisan. Dalam karya sastra (puisi) realitas berada dalam situasi di bawah tulisan.

Di saat lain engkau bukan sekadar menusir, bahkan lebih ekstrem engkau simpan realitas jauh di bawah tulisanmu sehingga para pembaca yang kurang peka tidak mudah menyadarinya. Mereka mungkin bilang engkau sekadar ber-aneh aneh, absurd, asyik sendiri, eksentrik, atau kurang menyadari realitas ataupun sejarah.

Apa sebenarnya yang terjadi?

Pada karya semacam itu engkau sebenarnya telah membe- kukan realitas. Realitas yang teraktualisasi mengalir dalam kenyataan sehari-hari, engkau bekukan dalam puisimu. Aktualisasi realitas dibekukan, tidak berfungsi, dikembalikan menjadi sekadar potensi, yang janin, embrional.

Puisi atau sastra cenderung mengembalikan realitas menjadi telur.

Realitas itu ayam yang menciptakan telur imajinasi (puisi), dan puisi (imajinasi) itu ayam yang menciptakan telur realitas.

Realitas yang dibekukan dalam puisi sebagai telur akan menetas dan mendapatkan kelahiran baru (metamorfose) sebagai realitas baru dan mencerahkan pada hati, pikiran dan tangan para pembacanya. Telur itulah unsur depan sadar dari puisi. Tentang depan sadar ini aku tak mau berpanjang- panjang, baca tulisan SCB beberapa bulan lalu di Bentara.

Para pembaca yang kecewa terhadap karya sastra yang dianggapnya tidak menampakkan realitas samalah halnya dengan orang yang kecewa melihat tidak ada persamaan antara sebuah telur dengan seekor ayam.

Penyair yang mendedahkan (merujuk) begitu saja realitas tanpa meletakkan secara kreatif di bawah tulisannya, sama pula halnya dengan menyuruh pembacanya menetaskan ayam di mesin penetas.

Salah satu masalah yang muskil dari penyair adalah bagai-mana memosisikan realitas di bawah lapis larik-larik sajaknya, membekukan aktualitasnya, mengembalikannya menjadi potensi (telur) untuk kelak menetas kembali menjadi realitas baru (metamorfose) pada para pembacanya.

Jika penyair dengan ungkapan atau imajinasinya mampu menanggulangi masalah telurnya ini secara baik, saya kira ia cenderung bisa berhasil melahirkan sajak-sajak yang dalam.
READ MORE - Penyair dan Telurnya

Senin, 01 Februari 2010

pakarena ekspresif

cerita-cerita lisan  tarian  adalah ekspresi kesenian rakyat 
Menurut Munasih Nadjamuddin yang seniman Pakarena, tarian Pakarena berawal dari kisah mitos perpisahan penghuni boting langi (negeri kahyangan) dengan penghuni lino (bumi) zaman dulu. Sebelum detik-detik perpisahan, boting langi mengajarkan penghuni lino mengenai tata cara hidup, bercocok tanam, beternak hingga cara berburu lewat gerakan-gerakan tangan, badan dan kaki. Gerakan-gerakan inilah yang kemudian menjadi tarian ritual saat penduduk lino menyampaikan rasa syukurnya kepada penghuni boting langi.
Sebagai seni yang berdimensi ritual, Pakarena terus hidup dan menghidupi ruang batin masyarakat Gowa dan sekitarnya. Meski tarian ini sempat menjadi kesenian istana pada masa Sultan Hasanuddin raja Gowa ke-16, lewat sentuhan I Li’motakontu, ibunda sang Sultan. Demikian juga saat seniman Pakarena ditekan gerakan pemurnian Islam Kahar Muzakar karena dianggap bertentangan dengan Islam. Namun begitu tragedi ini tidak menyurutkan hati masyarakat untuk menggeluti aktifitas yang menjadi bagian dari hidup dan kehidupan yang menghubungkan diri mereka dengan Yang Kuasa.
Belakangan ini tangan-tangan seniman kota dan birokrat pemerintah daerah (pemda) telah menyulap Pakarena menjadi industri pariwisata. Dengan bantuan tukang seniman standar estetika diciptakan melalui sanggar-sanggar agar bisa dinikmatin orang luar. Untuk mendongkrak pendapatan daerah, alasannya. Sebagian seniman mengikuti standar resmi dan memperoleh fasilitas pemda. Tapi sebagian seniman lain enggan mengikuti karena dianggap tidak sesuai tradisi adat setempat, meski menanggung resiko tidak memperoleh dana pembinaan pemda atau tidak diundang dalam pertunjukan-pertunjukan.
Dg Mile (50 tahun), misalnya. Seniman Pakarena asal desa Kalase’rena, Kec. Barang lompo ini tergolong teguh pendirian. Ia biasanya mencari berbagai cara berkelit untuk tidak menghadiri undangan departemen pariwisata. Kadang beralasan sedang ada acara ritual sendiri di kampungnya atau menghadiri sunatan dan pengantin tetangganya, atau kalau pun tidak bisa menolak maka ia akan menuntut syarat agar teman-temannya tidak terlantar usai pertunjukan.
Cara lain yang agak berbeda ditunjukkan Sirajuddin Bantam. Anrong guru Pakarena dari Gowa ini terang-terangan menolak tampil jika ada pejabat yang mau mendikte tampilan penarinya. Bahkan saat diminta tampil, ia tidak segan mempertanyakan lebih dulu keperluan pertunjukan itu dan sejauh mana menguntungkan teman-temannya. Karena ia tahu ada jenis tarian yang bisa dipertontonkan dan mana yang hanya bisa tampil di acara-acara tertentu. Sirajuddin juga kadang ngibulin pejabat yang menuntut tampilan tertentu dengan tiba-tiba mengubah sendiri skenario tarian di atas panggung.
Sikap yang ditempuh para seniman ini memang bukan tanpa resiko. Mereka harus merawat tradisi Pakarena dengan hidup pas-pasan tanpa bantuan pemerintah. Hanya dengan kreatifitas saja mereka bisa bersaing dengan seniman kota yang menikmati fasilitas dan kesejahteraan jauh di atas rata-rata.
Kecerdikan ini misalnya dipunyai Sirajuddin dan Dg Mile. Sirajuddin mendokumentasikan sendiri tarian Pakarena dan lalu memperkenalkannya ke publik sampai mancanegara. Tentu saja dia dan para seniman kampung yang bersamanya juga mengkreasi Pakarena ini. Tapi ia sungguh menyadari mana tarian yang bisa dikreasi dan mana yang tidak. “Royong yang biasa dipakai ritual, tak perlu ditampilkan. Hanya pakarena Bone Balla yang ditampilkan,” ujar pemilik sanggar tari Sirajuddin ini, sembari menjelaskan bahwa Bone Balla biasa dipertontonkan kerajaan untuk menyambut para tamu.
Sementara itu, Dg Mile yang juga pemilik sanggar Tabbing Sualia ini lebih memilih tampil sendiri tanpa bergantung sama pemda. Paling banter dia dan kelompoknya hanya mau tampil bila bekerja sama dengan LSM tertentu yang peduli terhadap kesenian rakyat. ”Selama ini saya lebih suka main dengan Latar Nusa ketika mau menampilkan kesenian Pakarena di dalam dan di luar negeri,” kata Dg Mile menyebut nama LSM itu.
Begitulah, rupanya kaum seniman memiliki pengertian beda mengenai Pakarena. Orang macam Dg Mile dan Sirajuddin menyadari, Pakarena yang ”dipasarkan” pemda selama ini cenderung terpisah dari kehidupan, tradisi, dan makna yang diimajinasikan komunitas. Proses itu hanya menguntungkan seniman kelas menengah di kota dan kepentingan tertentu di pemerintahan. Seperti keinginan pemda mengubah pakaian penari tradisi di Sulsel agar sesuai dengan norma agama tertentu.
Jelas ini melahirkan kerisauan. Dg Mile sampai-sampai menjelaskan berulangkali kalau Pakarena tidaklah syirik karena ditujukan kepada Yang Kuasa. Sirajuddin pun meminta agar para agamawan tidak menggunakan syariat yang formalis saja dalam menilai kesenian, tapi menggunakan hakikat atau tarekat. “Jika pemahaman mereka benar, tidak ada kesenian kita yang bertentangan dengan agama,” ujar Sirajuddin, sambil mencontohkan istilah passili dalam Pakarena yang berarti memerciki para seniman dan peralatannya dengan sejumput air agar membawa keberuntungan, selaras dengan agama. ”Lalu mana lagi yang harus diberi warna atau nuansa agama,” kata Sirajuddin mengakhiri argumentasinya.
Kalau sudah begini, soalnya menjadi tergantung siapa yang menafsir. Kebenaran kembali ada dalam keyakinan para penghayatnya. Bukan elit agama atau birokrasi yang kerap memonopoli makna.[Liputan oleh Syamsurijal Adhan]
Sikap batinnya hening, penuh kelembutan, dedikatif, itulah kesan yang tersirat dari gemulainya gerakan penari ini. Tari Pakarena yang dibawakan penari ini adalah tarian kas masyarakat Sulawesi Selatan. Setiap penari harus melakukan upacara ritual adat yang disebut jajatang, dengan sesajian berupa beras, kemeyan dan lilin. Ini dimaksudkan untuk memperoleh kelancaran sepanjang pertunjukan berlangsung.
Pakarena adalah bahasa setempat berasal dari kata Karena yang artinya main. Sementara ilmu hampa menunjukan pelakunya. Tarian ini mentradisi di kalangan masyarakat Gowa yang merupakan wilayah bekas Kerajaan Gowa.
Ini dulunya, pada upacara-upacara kerajaan Tari Pakarena ini dipertunjukkan di Istana. Namun dalam perkembangannya, Tari Pakarena ini lebih memasyarakat di kalangan rakyat. Bagi masyarakat Gowa, keberadaan Tari Pakarena tidak bisa dilepaskan dari kehidupan mereka sehari-hari.
Kelembutan mendominasi kesan pada tarian ini. Tampak jelas menjadi cermin watak perempuan Gowa sesungguhnya yang sopan, setia, patuh dan hormat pada laki-laki terutama terhadap suami.
Gerakan lembut si penari sepanjang tarian dimainkan, tak urung menyulitkan buat masyarakat awam untuk membedakan babak demi babak. Padahal tarian ini terbagi dalam 12 bagian. Gerakan yang sama, nyaris terangkai sejak tarian bermula. Pola gerakan yang cenderung mirip dilakukan dalam setiap bagian tarian.
Sesungguhnya pola-pola ini memiliki makna khusus. Gerakan pada posisi duduk, menjadi pertanda awal dan akhir Tarian Pakarena. Gerakan berputar mengikuti arah jarum jam. Menunjukkan siklus kehidupan manusia.
Sementara gerakan naik turun, tak ubahnya cermin irama kehidupan. Aturan mainnya, seorang penari Pakarena tidak diperkenankan membuka matanya terlalu lebar. Demikian pula dengan gerakan kaki, tidak boleh diangkat terlalu tinggi. Hal ini berlaku sepanjang tarian berlangsung yang memakan waktu sekitar dua jam.
Tidak salah kalau seorang penari Pakarena harus mempersiapkan dirinya dengan prima, baik fisik maupun mental. Gerakan monoton dan melelahkan dalam Tari Pakarena, sedikit banyak menyebabkan kaum perempuan di Sulawesi Selatan, tak begitu berminat menarikannya.
Kalaupun banyak yang belajar sejak anak-anak, tidak sedikit pula yang kemudian enggan melanjutkannya saat memasuki jenjang pernikahan. Namun tidak demikian halnya seorang Mak Joppong. Perempuan tua yang kini usianya memasuki 80 tahun ini, adalah seorang pelestari tari klasik Pakarena.
Ia seorang maestro tari khas Sulawesi Selatan ini. Ia seorang empu Pakarena. Mak Joppong sampai sekarang masih bersedia memenuhi undangan. Untuk tampil menarikan Pakarena yang digelutinya sejak usia 10 tahun ini. Disebut-sebut, perempuan inilah yang mampu menarikan Pakarena dengan utuh, lengkap dengan kesakralannya sebagai sebuah tarian yang mengambarkan kelembutan perempuan Gowa.
READ MORE - pakarena ekspresif

Kamis, 28 Januari 2010

ferpormance art rumpun seni budaya bulukumba dalam lauching karya satra sebuah novel karya ramli palammai" aku di sebuah novel"asli karya anak bulukumba. di gelar pada tanggal 03 januari 2010 bertempat di rumah jabatan Bupati Bulukumba.

sebagai sebuah apresiasi besar terhadap ruang kerja sastra yang tak henti hentinya menuangkan ide dan akumulasi kreasi kedalam bentuk bacaan.

ferpormance art yang di angkat dari cerita si aku dalam novel, perpaduan antara tragedi dan kenangan dalam rentetan peristiwa-peristiwa romantik.
READ MORE -

Sabtu, 23 Januari 2010

seni akting

READ MORE - seni akting

wajah seni akting

Sejarah panjang seni teater dipercayai keberadaannya sejak manusia
mulai melakukan interaksi satu sama lain. Interaksi itu juga
berlangsung bersamaan dengan tafsiran-tafsiran terhadap alam
semesta. Dengan demikian, pemaknaan-pemaknaan teater tidak jauh
berada dalam hubungan interaksi dan tafsiran-tafsiran antara manusia
dan alam semesta. Selain itu, sejarah seni teater pun diyakini berasal
dari usaha-usaha perburuan manusia primitif dalam mempertahankan
kehidupan mereka. Pada perburuan ini, mereka menirukan perilaku
binatang buruannya. Setelah selesai melakukan perburuan, mereka
mengadakan ritual atau upacara-upacara sebagai bentuk “rasa syukur”
mereka, dan “penghormatan” terhadap Sang Pencipta semesta. Ada
juga yang menyebutkan sejarah teater dimulai dari Mesir pada 4000
SM dengan upacara pemujaan dewa Dionisus. Tata cara upacara ini
kemudian dibakukan serta difestivalkan pada suatu tempat untuk
dipertunjukkan serta dihadiri oleh manusia yang lain.
The Theatre berasal dari kata Yunani Kuno, Theatron yang
berarti seeing place atau tempat menyaksikan atau tempat dimana
aktor mementaskan lakon dan orang-orang menontonnya. Sedangkan
istilah teater atau dalam bahasa Inggrisnya theatre mengacu kepada
aktivitas melakukan kegiatan dalam seni pertunjukan, kelompok yang
melakukan kegiatan itu dan seni pertunjukan itu sendiri. Namun
demikian, teater selalu dikaitkan dengan kata drama yang berasal dari
kata Yunani Kuno, Draomai yang berarti bertindak atau berbuat dan
Drame yang berasal dari kata Perancis yang diambil oleh Diderot dan
Beaumarchaid untuk menjelaskan lakon-lakon mereka tentang
kehidupan kelas menengah atau dalam istilah yang lebih ketat berarti
lakon serius yang menggarap satu masalah yang punya arti penting
tapi tidak bertujuan mengagungkan tragika. Kata drama juga dianggap
telah ada sejak era Mesir Kuno (4000-1580 SM), sebelum era Yunani
Kuno (800-277 SM). Hubungan kata teater dan drama bersandingan
sedemikian erat seiring dengan perlakuan terhadap teater yang
mempergunakan drama ’lebih identik sebagai teks atau naskah atau
lakon atau karya sastra.
Terlepas dari sejarah dan asal kata yang melatarbelakanginya,
seni teater merupakan suatu karya seni yang rumit dan kompleks,
sehingga sering disebut dengan collective art atau synthetic art artinya
teater merupakan sintesa dari berbagai disiplin seni yang melibatkan
berbagai macam keahlian dan keterampilan. Seni teater
menggabungkan unsur-unsur audio, visual, dan kinestetik (gerak) yang
meliputi bunyi, suara, musik, gerak serta seni rupa. Seni teater
merupakan suatu kesatuan seni yang diciptakan oleh penulis lakon,
sutradara, pemain (pemeran), penata artistik, pekerja teknik, dan
diproduksi oleh sekelompok orang produksi. Sebagai seni kolektif, seni
teater dilakukan bersama-sama yang mengharuskan semuanya
sejalan dan seirama serta perlu harmonisasi dari keseluruhan tim.
Pertunjukan ini merupakan proses seseorang atau sekelompok
manusia dalam rangka mencapai tujuan artistik secara bersama.
Dalam proses produksi artistik ini, ada sekelompok orang yang
mengkoordinasikan kegiatan (tim produksi). Kelompok ini yang
menggerakkan dan menyediakan fasilitas, teknik penggarapan, latihanlatihan,
dan alat-alat guna pencapaian ekspresi bersama. Hasil dari
proses ini dapat dinikmati oleh penyelenggara dan penonton. Bagi
xv
penyelenggara, hasil dari proses tersebut merupakan suatu kepuasan
tersendiri, sebagai ekspresi estetis, pengembangan profesi dan
penyaluran kreativitas, sedangkan bagi penonton, diharapkan dapat
diperoleh pengalaman batin atau perasaan atau juga bisa sebagai
media pembelajaran.
Melihat permasalahan di dalam teater yang begitu kompleks,
maka penulis mencoba membuat sebuah paparan pengetahuan teater
dari berbagai unsur. Paparan ini dimulai dari Bab I Pengetahuan
Teater yang berisi tentang definisi teater baik secara keseluruhan
maupun secara detail, sejarah singkat perkembangan teater baik
sejarah singkat teater Eropa maupun sejarah singkat teater Indonesia,
dan unsur-unsur pembentuk teater. Bab ini sangat penting karena
untuk mendasari pemikiran dan pengetahuan tentang seni teater.
Bab II Lakon yang berisi tentang tipe-tipe lakon, tema, plot,
struktur dramatik lakon, setting, dan penokohan. Dalam bab ini
pembahasan lebih banyak pada analisis elemen lakon sebagai
persiapan produksi seni teater. Sesederhana apa pun sebuah naskah
lakon, diperlukan sebagai pedoman pengembangan laku di atas
pentas. Pemilihan lakon yang akan disajikan dalam pementasan
merupakan tugas yang sangat penting. Tidak sembarang lakon akan
sesuai dan baik jika dipentaskan. Sulitnya tugas ini disebabkan oleh
karena setiap kelompok teater memiliki ciri khas masing-masing.
Sebuah lakon yang dipentaskan dengan baik oleh satu kelompok
teater, belum tentu akan menjadi baik pula jika dipentaskan oleh
kelompok lainnya.
Bab III Penyutradaraan yang berisi tentang penentuan lakon
yang akan dipentaskan, analisis lakon secara menyeluruh hingga
sampai tahap konsep pementasan, menentukan bentuk pementasan,
memilih pemain, membuat rancangan blocking, serta latihan-latihan
hingga gladi bersih. Kerja penyutradaan dalam sebuah pementasan
merupakan kerja perancangan. Seorang sutradara harus bisa memberi
motivasi dan semangat kebersamaan dalam kelompok untuk
menyatukan visi dan misi pementasan antar mereka yang terlibat.
Kerja penyutradaraan merupakan kegiatan perancangan panggung
dapat berupa penciptaan estetika panggung maupun ekspresi
eksperimental.
Bab IV Pemeranan yang berisi tentang persiapan seorang
pemeran dalam sebuah pementasan seni teater. Persiapan tersebut
meliputi persiapan olah tubuh, olah suara, penghayatan karakter serta
teknik-teknik pemeranan. Persiapan seorang pemeran dianggap
penting karena pemeran adalah seorang seniman yang
mengekspresikan dirinya sesuai dengan tuntutan baru dan harus
memiliki kemampuan untuk menjadi ’orang baru’. Pemeran
didefinisikan pula sebagai tulang punggung pementasan, karena
dengan pemeran yang baik, tepat, dan berpengalaman akan
menghasilkan pementasan yang bermutu. Pementasan bermutu
adalah pementasan yang secara ideal mampu menterjemahkan isi
naskah. Walaupun di lain pihak masih ada sutradara yang akan melatih
dan mengarahkan pemeran sebelum pentas, tetapi setelah di atas
panggung tanggungjawab itu sepenuhnya milik pemeran.
Bab V Tata Artistik yang berisi tentang teori dan praktek tata
artistik yang meliputi; tata rias, tata busana, tata cahaya, tata
panggung, dan tata suara. Sebagai komponen pendukung pokok,
xvi
keberadaan tata artistik dalam pementasan teater sangatlah vital.
Tanpa pengetahuan dasar artistik seorang sutradara atau pemain
teater tidak akan mampu menampilkan kemampuannya dengan baik.
Persesuaian dengan tata artistik yang menghasilkan wujud nyata
keindahan tampilan di atas pentas adalah pilihan wajib bagi para
pelaku seni teater.
Bahasan yang penulis pilih dalam setiap bab merupakan
pengetahuan dan praktek mendasar proses penciptaan seni teater.
Artinya, sebuah pertunjukan teater yang berlangsung di atas panggung
membutuhkan proses garap yang lama mulai dari (penentuan) lakon,
penyutradaraan, pemeranan, dan proses penataan artistik. Dalam
setiap tahapan proses ini melibatkan banyak orang (pendukung) dari
berbagai bidang sehingga dengan memahami tugas dan tanggung
jawab masing-masing maka kerja penciptaan teater akan padu.
Kualitas kerja setiap bidang akan menjadi harmonis jika masingmasing
dapat bekerja secara bersama dan bekerja bersama akan
berhasil dengan baik jika semua elemen memahami tugas dan
tanggung jawabnya. Itulah inti dari proes penciptaan seni teater, “kerja
sama”.
READ MORE - wajah seni akting

Biografi Pengurus RSBB Angkatan I/2008

 STRUKTUR KEPENGURUSAN

DEWAN PENASEHAT

DEWAN KONSULTAN

KETUA UMUM

SEKRETARIS 

PENGURUS HARIAN 
Maya Akhmad
Ajhed
 Appaks
Saenal
Asmaradana


Arie M Dhirganthara menjabat sebagai  ketua umum periode 2008-2012.
terpilih secara aklamasi pada tudang si pulung pertama yang di gelar di pelataran rumah andi ida di bontomanai kec rilau ale.lulusan teater dari sanggar merah putih makassar angkatan 18, aktif di berbagai kegiatan dan kerja kerja kesenian khususnya teater, membacakan puisi dalam acara acara kampus dan ruang ruang sosial politik.
kini tengah aktif  sebagai staf ahli pada lembaga swadaya masyarakat jaringan politik untuk kerakyatan ( ji-pek )bulukumba.
READ MORE - Biografi Pengurus RSBB Angkatan I/2008

Jumat, 22 Januari 2010

Setiba Aku Di hatimu

Setiba di hatimu, aku mau menyulam kata kata jadi puisi 
sayap sayap malam  jadi sanjak dingin

esok pagi mengawali musim hujan yang manja
pada secangkir teh hangat yang menggelikan


Dulu selalu kutanya padamu tentang  cinta

lewat puisi yang kukirimkan serupa  surat bersampul jingga
dan hari hari berlalu  begitu hijau
cintapun tumbuh

kita jadi sepasang kekasih yang setiap hari kasmaran

pada pertemuan kita di sebuah siang teduh itu
kitapun jadi metafora hujan yang segera bergegas
READ MORE - Setiba Aku Di hatimu

media transformasi zaman


teater hidup ketika ia membincang tentang zamannya. visualisasi dari gerakan-gerakan eksotis yang menyumbat alam bawah sadar buat membentuk pola pikir yang peka terhadap gelinya realitas kita yang kadang tak di sentuh oleh siapa pun. zaman adalah peristiwa dalam setiap skenario yang terlahir, tidak selalu berupa pengungkap kenyataan, tapi ia semacam warning buat melakukan sebuah nilai-nilai esensi pemikiran yang terlahir dari paradigma. teater yang baik adalah ketika ia mampu di kenang. Di kenang dalam artian menjadi bahan pembicaraan, apakah itu media. kelompok ataupun pembicaraan bathin manusia yang menyaksikannya.
siapa pun yang mampu membahas atau menggugat sesuatu bukankah ia telah nyata terlibat dalam sebuah proses penciptaan kreatipitas yang bersangkutan.
sesungguhnya kresi teater adalah sebuah proses panjang yang tak terlahir begitu saja tetapi terlahir atas apa yang menjadi kegelisahan kolektif. realitas sosial menjadi alasan tertentu dalam wilayah eksplorasi.
READ MORE - media transformasi zaman

kunang-kunang di kotaku

kini  malam begitu larut
sementara ku sendiri menyeduh sunyi
ada taman hati penuh bunga-bunga
hujan melerai begitu syahdu di teras rumah
denyut jantung   meletup menyusuri keheningan

siapa yang bermanja, bersama bola-bola cahaya di taman kota?
menari dalam kesendirian yang terhanyut
dari desing angin dan nyanyi malam-malam kelam

aku rasakan ia beterbangan
cahaya kerlap yang mengajakku segera melarutkan mimpi

READ MORE - kunang-kunang di kotaku

Teater Indonesia Harus Menciptakan Tradisinya Sendiri


Tulisan:  Edy Suyanto


”Perkembangan teater saat ini adalah perkembangan teater post-Stanislavsky. Setelah Stanislavsky, tumbuh teater baru yang mementingkan sutradara,” begitu kata Asrul Sani ketika saya mewawancarainya dalam satu kesempatan di pertengahan tahun 2000 lalu. Dikatakannya pula, ”Di Eropa, orang sudah enggak perlu surealisme lagi. Sudah jenuh. Mereka mencari bentuk yang lain. Tapi kita baru mulai, akibatnya biarpun lama berteater, tapi tidak melahirkan aktor yang baik.”

Sungguh, hal itu terngiang lagi di kesadaranku, karena ternyata permasalahan lama itu muncul kembali, diujarkan dengan bahasa yang lain oleh Harris Priadie Bah dalam diskusi teater yang diadakan oleh meja budaya hari Jumat tanggal 18 Juli 2003 lalu di PDS. HB. Jassin. Dengan bahasanya, Harris menyatakan bahwa teater modern Indonesia merupakan teater yang didirikan dengan tradisi pemusatan kuasa pada corak badan dan pikiran sang sutradara.


Memang bukan tema baru. Tapi harus diakui juga, permasalahan itu bukannya telah selesai sekarang. Ada satu hal penting mengapa itu sampai terjadi. Menurut Harris, yaitu adanya paradigma paternalistik, di mana itu memunculkan pemusatan wacana teater pada sosok tunggal sutradara.
Tapi sayangnya, diskusi sore itu tidak terlalu jauh mengurai untuk mencari sebab dari kegelisahan yang dilemparkan Harris. Terlebih dengan waktu yang dibatasi justru oleh moderator.


Tanpa paparan yang lebih jauh tentang sebab-sebab itu, Harris lalu menawarkan sebuah ajakan untuk mendevitalisasi paradigma paternalistik dengan sebuah paradigma pempribadian, di mana tradisi kerja kolektif dalam teater harus dimaknai sebagai fasilitas bersama untuk terberdirikannya proses emansipasi lintas pribadi.
Sebuah ajakan yang tidak mendasar buat saya, sebab, tanpa adanya paradigma pempribadian itu pun, sebuah kerja teater memang sebuah kerja kolektif. Sebuah keloktivitas tentu mensyaratkan adanya kesetaraan dengan menghargai dan menjalankan tanggung-jawab posisinya masing-masing. Seorang sutradara atau pemain, pasti mempunyai sebuah wilayah yang tidak bisa diganggu-gugat oleh pihak di luar dirinya. Suatu wilayah ”otonomi diri”, di mana dia menjadi penguasa akan kediriannya dan memahami seluruh bahasa dirinya ketika dia harus memilih kerjanya dalam proses kreatif teater. Hal ini juga untuk menjawab kegelisahan Nur Zein Hae yang melihat pemain masih sebagai subordinat dalam produksi teater.


Pun, saat Nur Zein menawarkan solusi bahwa teater modern Indonesia harus menengok ke teater tradisi, dengan asumsi bahwa dalam teater tradisi, sutradara hanya berperan dalam mengatur plot cerita dan pola pengadeganan (mise en scene). Selebihnya pemain yang berperan. Tapi Nur Zein lupa, bahwa antara teater modern dan teater tradisi memiliki pola dan syarat yang saling berlainan.


Teater tradisi hidup dan dihidupi orang-orang yang lebih homogen dan memiliki semangat lokalitas yang tinggi. Mereka mempunyai hubungan yang intens, baik dalam proses kreatif maupun dalam hubungan sosial. Ada semangat kekerabatan yang berusaha selalu mereka tumbuhkan. Kesenian adalah sesuatu yang coba mereka pertahankan sebagai simbol komunal wilayah hidup.
Sedangkan teater modern adalah hasil pembelajaran dari tradisi barat, yang kemudian disikapi sebagai ilmu. Kalaupun toh kemudian ada yang memilih teater sebagai jalan, yang muncul kemudian adalah teater yang hidup dengan semangat memperbaharui yang terus-menerus dengan segala pencarian bentuk kreatifnya sebagai bahasa visual. Tradisi cuma sekadar aksesori, bahkan terkadang sampai melawan tradisi. Itu pilihan. Jadi sangat aneh, kalau kita harus merujuk ke teater tradisi untuk menjawab permasalahan teater modern seperti yang ditawarkan Nur Zein.


Pada akhirnya, teater modern Indonesia adalah kompleksitas. Membicarakan persoalan aktor, misalnya, mau tidak mau kita akan membicarakan teater sebagai sebuah disiplin. Termasuk masa lalunya.
Saya setuju dengan pendapat bahwa teater modern Indonesia masih memakai paradigma paternalistik. Munculnya kelompok-kelompok teater, berbiak dari teater-teater sebelumnya. Seperti layaknya sebuah keluarga, seorang anak yang sudah merasa dewasa dan ingin mandiri, tentu ada keinginan untuk memisahkan diri dari keluarga besarnya dan membentuk keluarganya sendiri. Maka keluarga-keluarga baru bermunculan. Itulah teater modern Indonesia. Budaya paternal yang dia cerap selama masa kanak-kanaknya itu tanpa sadar ikut terbawa ketika ia ingin berdiri sendiri. Terjadi pelembagaan terhadap budaya paternalistik.
Seorang aktor dalam kelompok terdahulunya akhirnya akan berkeinginan juga menjadi sutradara ketika dia keluar dan menciptakan kelompoknya sendiri. Keaktoran saja tidak cukup bagi seorang aktor. Sutradara adalah puncak pilihan.


Saya kira, inilah struktur berpikir yang kadung tertanam di benak—secara umum—para pekerja teater Indonesia. Dan kalau itu dianggap kesalahan, saya kira, itulah sebabnya yang berkembang kemudian adalah teater sutradara. Kita tidak pernah benar-benar lepas dari masa silam, atau bahkan tanpa masa silam seperti kata Arifin C. Noer almarhum. Kita masih terbelenggu dengan budaya paradigma lama yang paternal.
Pengertian antara teater sutradara dan teater aktor, bukanlah masalah penting. Yang harus kita tumbuhkan sekarang ini adalah sebuah teater yang benar-benar tanpa hubungan dengan para pendahulunya. Yang tidak membawa naluri tradisi paternalistik. Teater yang tidak peduli dengan masa lalunya sendiri. Teater yang berani memutus mata-rantai sejarah perkembangan sebelumnya. Tanpa masa silam yang sebenarnya.
Teater modern Indonesia kemudian lahir dari gagasan-gagasan dan kegelisahan sekumpulan orang yang meniatkan dirinya untuk melebur menjadi sebuah kelompok teater. Artinya: teater itu lahir bukan karena kegelisahan satu orang saja. Hal itu akan berpotensi ke arah teater sutradara seperti teater-teater Indonesia sebelumnya.


Niatan itu tentu saja harus didukung orang-orang dengan kemampuan dan kualitas yang memadai di bidangnya masing-masing. Baik itu pemain, sutradara, penulis naskah, bagian artistik, bahkan sampai di bidang manajerial. Semuanya dengan semangat dan visi yang sama. Tidak ada heirarki atas-bawah di dalamnya. Setiap individu mempunyai posisi yang sama pentingnya. Setiap orang berhak melemparkan gagasan untuk direspons dan didiskusikan bersama. Bagaimana individu yang memilih di bagian penulisan naskah kemudian serius mengerjakan tugasnya dari hasil diskusi itu. Bagian manajerial kemudian sibuk membuat surat-surat dan proposal pertunjukan. Para pemain giat mempersiapkan tubuhnya dalam latihan-latihan rutin. Bagian penyutradaraan memilih, siapa yang siap untuk menyutradarai gagasan itu. Dalam bahasanya Adi Wicaksono: bagian-bagian itu kemudian dilembagakan. Setiap lembaga di dalamnya hanya mengurusi apa yang menjadi bagiannya. Orang yang harus menyutradarai, tidak serta-merta juga menjadi pimpinan produksi. Atau seorang pemain yang juga merangkap mengurusi surat-surat dan proposal yang harus dibuat. Dengan begitu, setiap orang akan mampu lebih maksimal mengerjakan apa yang menjadi tanggung-jawabnya.


Dalam teater seperti itu, akan lebih banyak memunculkan warna dan corak pada tiap produksi kreatifnya, karena setiap sutradara di dalamnya, dengan seluruh kapasitasnya, masing-masing mempunyai gaya dan cara pengucapannya yang khas. Seorang pemain akan lebih menemukan gaya aktingnya dari setiap sutradara yang berbeda.


Maka tidak penting lagi dipertanyakan, teater sutradara atau teater aktor yang muncul, atau malah teater naskah, karena ternyata naskah yang tertulis lebih kuat dibanding aktor atau sutradaranya, misalkan. Semuanya telah selesai ketika itu didiskusikan dan digodok hingga menjadi sebuah ide bersama yang lebih matang dan jelas.
Dalam teater seperti itu, keberagaman bentuk lebih berkemungkinan untuk menemukan semangat dan hidupnya. Dengan sendirinya, hal itu akan lebih memperkaya perkembangan teater modern Indonesia yang sudah memilih untuk melupakan masa lalunya dan menciptakan sejarah dan tradisinya sendiri.




READ MORE - Teater Indonesia Harus Menciptakan Tradisinya Sendiri

Rumpun Seni Budaya


Rumpun seni budaya adalah komunitas kesenian yang intens melakukan kerja-kerja seni seperti tari, sastra, dan teater. sejak didirikan pada tanggal 05 juli 2008 silam. Rsbb telah banyak melakukan berbagai kegiatan dan terlibat dalam kerja kesenian antara lain : perfomance art dalam deklarasi bulukumba gerakan kota penyair, performance art peringatan 17 agustus 2008, performance art di peringatan hari ham se dunia. musikalisasi puisi   di hari ulangtahun kepengurusan pertama 2009, pertunjukan teater dalam festival teater "menengok cerita rakyat" di makassar.malam apresiasi pentas terbuka di awal tahun 2010.

selain aktif melakukan kerja-kerja kesenian sebagai upaya eksplorasi terhadap gejala-gejala alam dan sosial, juga aktif melakukan advokasi di wilayah analisis, kajian-kajian sosial dan kultur.sebagai ruang yang melahirkan aktivis-aktivis kesenian yang kritis dan penuh kreasi.
READ MORE - Rumpun Seni Budaya

Mengenai Saya

Foto saya
bulukumba, makassar.sul-sel, Indonesia
lelaki sederhana yang tumbuh dari proses zaman yang angkuh.lahir di batukaropa 15 kilometer dari kota bulukumba. anak kedua dari tiga bersaudara pasangan syamsuddin hamja dan masyita.terus berdaya melawan kehidupan yang getir meski sesekali harus ada air mata yang mengalir dalam perenungannya.kini tengah aktif mempersiapkan buah karyanya dalam bentuk puisi.
hujan merindui malam
///////////////////////////////////////////