Jumat, 05 Februari 2010

fropil sanggar merahputih makassar

Sanggar Merah Putih Makassar (SMPM) adalah komunitas kesenian yang mengambil peran sebagai media transformasi nilai sosial dan kebudayaan dalam arus perubahan masyarakat. Sejak didirikan pada 20 Mei 1978, Sanggar Merah Putih Makassar telah aktif melakukan kerja-kerja kesenian dan kebudayaan.

Telah cukup banyak karya seni yang dihasilkan oleh Sanggar Merah Putih Makassar sebagai wujud kepeduliannya terhadap pengembangan kesenian dan kebudayaan. Karya-karya seni tersebut pada umumnya berangkat dari fenomena-fenomena sosial kemasyarakatan, sebab juga dipahami bahwa kesenian memiliki tanggungjawab untuk menggugah kesadaran positif masyarakat.
Dengan tujuan pengembangan kapasitas anggotanya, Sanggar Merah Putih Makassar secara rutin melakukan proses kreatifitas. Sanggar Merah Putih Makassar juga melakukan proses rekruitmen anggota melalui Latihan Dasar Kesenian (Latar Seni). Proses ini juga dimaksudkan untuk melahirkan aktivis-aktivis kesenian yang berkapasitas baik.

Sanggar Merah Putih Makassar membuka diri untuk menjalin kerjasama dengan multipihak sebagai upaya untuk terus tumbuh dan berbagi.

Visi dan Misi

Visi : Pusat Pengembangan Kesenian Dan Kebudayaan

Misi :

1. Melakukan kerja-kerja kesenian dan kebudayaan sebagai komitmen kolektif sumberdaya SMPM dalam menyempurnakan tatanan kehidupan bersama.
2. Sebagai komunitas kesenian yang peduli terhadap fenomena-fenomena sosial kemasyarakatan
3. Sebagai komunitas kesenian yang mandiri dalam proses mengaktualisasikan potensi sumber daya kreatifitas anggota
4. Mewujudkan kerja-kerja kesenian dan kebudayaan sebagai media transformasi nilai sosial dan kebudayaan

Alamat :
Kompleks Gedung Kesenian Societeit de Harmonie
Jl. Ribura'ne No.15 Makassar
Blog Web : merahputih1978.blog.com
email : merahputih1978@yahoo.co.id This e-mail address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it
READ MORE - fropil sanggar merahputih makassar

Penyair dan Telurnya

Oleh : Sutardji Calzoum Bachri

ENGKAU bilang puisi adalah dunia tersendiri sambil masih bertanya apakah hubungan puisi dengan realitas. Memang ungkapan yang serasa sudah menjadi klise itu-puisi adalah sebuah dunia-cenderung bisa disalah-pahami seakan puisi dan realitas bagaikan dua dunia terpisah mutlak satu sama lainnya. Hendaklah dipahami ketika engkau sedang menulis puisi atau karya sastra lainnya engkau sedang menulis di atas tulisan. Engkau tak mungkin menulis di atas kertas kosong.

Alam, sejarah, ikhwal, kejadian sehari-hari, sudah tertulis atau sedang menulis dirinya sendiri, dan ketika engkau menulis puisi engkau menulis di atasnya.

Puisi sebagaimana halnya imajinasi adalah upaya pembeba- san dari realitas, karena itu ia membutuhkan realitas. Eksistensi imajinasi hanya mungkin bila terpaut dengan realitas. Seperti imajinasi tentang perahu, kapal, takkan mungkin bila tak ada sungai atau lautan. Imajinasi menolak dan membebaskan diri dari realitas bagaikan dayung atau baling-baling kapal menolak dan membutuhkan sungai atau lautan. Engkau tak mungkin menulis di atas kertas kosong. Engkau menulis puisi di atas tulisan.

Mana mungkin ilham menyambarmu dan imajinasi mengurai dalam bait-bait sajakmu, kalau engkau tidak berdiri di suatu realitas.

Imajinasimu bisa aneh, eksentrik, sangat defamiliar, atau bagai bohong karena ia menolak realitas, namun bagaima-napun ia bertolak dari realitas dan karena itu ia membutuh-kannya.

Bahkan imajinasi yang “bohong” sekalipun membutuhkan fakta, realitas, untuk kondisinya agar bisa disebut bohong. Karena ia membutuhkan setakat fakta, setakat realitas tertentu, imajinasi cenderung mengandung setakat kejujuran.

Jangan heran kalau penguasa zalim risau terhadap karya sastra atau puisi, walaupun itu “cuma” fiksi.

Karena menulis sastra adalah menulis di atas tulisan (realitas), maka menulis pada hakikatnya pula menyembunyikan menyimpan, mengandung, menindih, melapis realitas.

Suatu saat engkau menulis bagaikan menusir foto realitas. Engkau tebalkan garis hidungnya, engkau panjangkan janggutnya, engkau hitamkan ubannya, engkau kasarkan kumisnya, dan engkau menciptakan foto lain yang beda dari foto sebelumnya (realitas). Dan realitas sekadar membayang dari bawah tulisanmu.

Menulis pada hakikatnya kegiatan meletakkan realitas di dalam posisi di bawah tulisan. Dalam karya sastra (puisi) realitas berada dalam situasi di bawah tulisan.

Di saat lain engkau bukan sekadar menusir, bahkan lebih ekstrem engkau simpan realitas jauh di bawah tulisanmu sehingga para pembaca yang kurang peka tidak mudah menyadarinya. Mereka mungkin bilang engkau sekadar ber-aneh aneh, absurd, asyik sendiri, eksentrik, atau kurang menyadari realitas ataupun sejarah.

Apa sebenarnya yang terjadi?

Pada karya semacam itu engkau sebenarnya telah membe- kukan realitas. Realitas yang teraktualisasi mengalir dalam kenyataan sehari-hari, engkau bekukan dalam puisimu. Aktualisasi realitas dibekukan, tidak berfungsi, dikembalikan menjadi sekadar potensi, yang janin, embrional.

Puisi atau sastra cenderung mengembalikan realitas menjadi telur.

Realitas itu ayam yang menciptakan telur imajinasi (puisi), dan puisi (imajinasi) itu ayam yang menciptakan telur realitas.

Realitas yang dibekukan dalam puisi sebagai telur akan menetas dan mendapatkan kelahiran baru (metamorfose) sebagai realitas baru dan mencerahkan pada hati, pikiran dan tangan para pembacanya. Telur itulah unsur depan sadar dari puisi. Tentang depan sadar ini aku tak mau berpanjang- panjang, baca tulisan SCB beberapa bulan lalu di Bentara.

Para pembaca yang kecewa terhadap karya sastra yang dianggapnya tidak menampakkan realitas samalah halnya dengan orang yang kecewa melihat tidak ada persamaan antara sebuah telur dengan seekor ayam.

Penyair yang mendedahkan (merujuk) begitu saja realitas tanpa meletakkan secara kreatif di bawah tulisannya, sama pula halnya dengan menyuruh pembacanya menetaskan ayam di mesin penetas.

Salah satu masalah yang muskil dari penyair adalah bagai-mana memosisikan realitas di bawah lapis larik-larik sajaknya, membekukan aktualitasnya, mengembalikannya menjadi potensi (telur) untuk kelak menetas kembali menjadi realitas baru (metamorfose) pada para pembacanya.

Jika penyair dengan ungkapan atau imajinasinya mampu menanggulangi masalah telurnya ini secara baik, saya kira ia cenderung bisa berhasil melahirkan sajak-sajak yang dalam.
READ MORE - Penyair dan Telurnya

Senin, 01 Februari 2010

pakarena ekspresif

cerita-cerita lisan  tarian  adalah ekspresi kesenian rakyat 
Menurut Munasih Nadjamuddin yang seniman Pakarena, tarian Pakarena berawal dari kisah mitos perpisahan penghuni boting langi (negeri kahyangan) dengan penghuni lino (bumi) zaman dulu. Sebelum detik-detik perpisahan, boting langi mengajarkan penghuni lino mengenai tata cara hidup, bercocok tanam, beternak hingga cara berburu lewat gerakan-gerakan tangan, badan dan kaki. Gerakan-gerakan inilah yang kemudian menjadi tarian ritual saat penduduk lino menyampaikan rasa syukurnya kepada penghuni boting langi.
Sebagai seni yang berdimensi ritual, Pakarena terus hidup dan menghidupi ruang batin masyarakat Gowa dan sekitarnya. Meski tarian ini sempat menjadi kesenian istana pada masa Sultan Hasanuddin raja Gowa ke-16, lewat sentuhan I Li’motakontu, ibunda sang Sultan. Demikian juga saat seniman Pakarena ditekan gerakan pemurnian Islam Kahar Muzakar karena dianggap bertentangan dengan Islam. Namun begitu tragedi ini tidak menyurutkan hati masyarakat untuk menggeluti aktifitas yang menjadi bagian dari hidup dan kehidupan yang menghubungkan diri mereka dengan Yang Kuasa.
Belakangan ini tangan-tangan seniman kota dan birokrat pemerintah daerah (pemda) telah menyulap Pakarena menjadi industri pariwisata. Dengan bantuan tukang seniman standar estetika diciptakan melalui sanggar-sanggar agar bisa dinikmatin orang luar. Untuk mendongkrak pendapatan daerah, alasannya. Sebagian seniman mengikuti standar resmi dan memperoleh fasilitas pemda. Tapi sebagian seniman lain enggan mengikuti karena dianggap tidak sesuai tradisi adat setempat, meski menanggung resiko tidak memperoleh dana pembinaan pemda atau tidak diundang dalam pertunjukan-pertunjukan.
Dg Mile (50 tahun), misalnya. Seniman Pakarena asal desa Kalase’rena, Kec. Barang lompo ini tergolong teguh pendirian. Ia biasanya mencari berbagai cara berkelit untuk tidak menghadiri undangan departemen pariwisata. Kadang beralasan sedang ada acara ritual sendiri di kampungnya atau menghadiri sunatan dan pengantin tetangganya, atau kalau pun tidak bisa menolak maka ia akan menuntut syarat agar teman-temannya tidak terlantar usai pertunjukan.
Cara lain yang agak berbeda ditunjukkan Sirajuddin Bantam. Anrong guru Pakarena dari Gowa ini terang-terangan menolak tampil jika ada pejabat yang mau mendikte tampilan penarinya. Bahkan saat diminta tampil, ia tidak segan mempertanyakan lebih dulu keperluan pertunjukan itu dan sejauh mana menguntungkan teman-temannya. Karena ia tahu ada jenis tarian yang bisa dipertontonkan dan mana yang hanya bisa tampil di acara-acara tertentu. Sirajuddin juga kadang ngibulin pejabat yang menuntut tampilan tertentu dengan tiba-tiba mengubah sendiri skenario tarian di atas panggung.
Sikap yang ditempuh para seniman ini memang bukan tanpa resiko. Mereka harus merawat tradisi Pakarena dengan hidup pas-pasan tanpa bantuan pemerintah. Hanya dengan kreatifitas saja mereka bisa bersaing dengan seniman kota yang menikmati fasilitas dan kesejahteraan jauh di atas rata-rata.
Kecerdikan ini misalnya dipunyai Sirajuddin dan Dg Mile. Sirajuddin mendokumentasikan sendiri tarian Pakarena dan lalu memperkenalkannya ke publik sampai mancanegara. Tentu saja dia dan para seniman kampung yang bersamanya juga mengkreasi Pakarena ini. Tapi ia sungguh menyadari mana tarian yang bisa dikreasi dan mana yang tidak. “Royong yang biasa dipakai ritual, tak perlu ditampilkan. Hanya pakarena Bone Balla yang ditampilkan,” ujar pemilik sanggar tari Sirajuddin ini, sembari menjelaskan bahwa Bone Balla biasa dipertontonkan kerajaan untuk menyambut para tamu.
Sementara itu, Dg Mile yang juga pemilik sanggar Tabbing Sualia ini lebih memilih tampil sendiri tanpa bergantung sama pemda. Paling banter dia dan kelompoknya hanya mau tampil bila bekerja sama dengan LSM tertentu yang peduli terhadap kesenian rakyat. ”Selama ini saya lebih suka main dengan Latar Nusa ketika mau menampilkan kesenian Pakarena di dalam dan di luar negeri,” kata Dg Mile menyebut nama LSM itu.
Begitulah, rupanya kaum seniman memiliki pengertian beda mengenai Pakarena. Orang macam Dg Mile dan Sirajuddin menyadari, Pakarena yang ”dipasarkan” pemda selama ini cenderung terpisah dari kehidupan, tradisi, dan makna yang diimajinasikan komunitas. Proses itu hanya menguntungkan seniman kelas menengah di kota dan kepentingan tertentu di pemerintahan. Seperti keinginan pemda mengubah pakaian penari tradisi di Sulsel agar sesuai dengan norma agama tertentu.
Jelas ini melahirkan kerisauan. Dg Mile sampai-sampai menjelaskan berulangkali kalau Pakarena tidaklah syirik karena ditujukan kepada Yang Kuasa. Sirajuddin pun meminta agar para agamawan tidak menggunakan syariat yang formalis saja dalam menilai kesenian, tapi menggunakan hakikat atau tarekat. “Jika pemahaman mereka benar, tidak ada kesenian kita yang bertentangan dengan agama,” ujar Sirajuddin, sambil mencontohkan istilah passili dalam Pakarena yang berarti memerciki para seniman dan peralatannya dengan sejumput air agar membawa keberuntungan, selaras dengan agama. ”Lalu mana lagi yang harus diberi warna atau nuansa agama,” kata Sirajuddin mengakhiri argumentasinya.
Kalau sudah begini, soalnya menjadi tergantung siapa yang menafsir. Kebenaran kembali ada dalam keyakinan para penghayatnya. Bukan elit agama atau birokrasi yang kerap memonopoli makna.[Liputan oleh Syamsurijal Adhan]
Sikap batinnya hening, penuh kelembutan, dedikatif, itulah kesan yang tersirat dari gemulainya gerakan penari ini. Tari Pakarena yang dibawakan penari ini adalah tarian kas masyarakat Sulawesi Selatan. Setiap penari harus melakukan upacara ritual adat yang disebut jajatang, dengan sesajian berupa beras, kemeyan dan lilin. Ini dimaksudkan untuk memperoleh kelancaran sepanjang pertunjukan berlangsung.
Pakarena adalah bahasa setempat berasal dari kata Karena yang artinya main. Sementara ilmu hampa menunjukan pelakunya. Tarian ini mentradisi di kalangan masyarakat Gowa yang merupakan wilayah bekas Kerajaan Gowa.
Ini dulunya, pada upacara-upacara kerajaan Tari Pakarena ini dipertunjukkan di Istana. Namun dalam perkembangannya, Tari Pakarena ini lebih memasyarakat di kalangan rakyat. Bagi masyarakat Gowa, keberadaan Tari Pakarena tidak bisa dilepaskan dari kehidupan mereka sehari-hari.
Kelembutan mendominasi kesan pada tarian ini. Tampak jelas menjadi cermin watak perempuan Gowa sesungguhnya yang sopan, setia, patuh dan hormat pada laki-laki terutama terhadap suami.
Gerakan lembut si penari sepanjang tarian dimainkan, tak urung menyulitkan buat masyarakat awam untuk membedakan babak demi babak. Padahal tarian ini terbagi dalam 12 bagian. Gerakan yang sama, nyaris terangkai sejak tarian bermula. Pola gerakan yang cenderung mirip dilakukan dalam setiap bagian tarian.
Sesungguhnya pola-pola ini memiliki makna khusus. Gerakan pada posisi duduk, menjadi pertanda awal dan akhir Tarian Pakarena. Gerakan berputar mengikuti arah jarum jam. Menunjukkan siklus kehidupan manusia.
Sementara gerakan naik turun, tak ubahnya cermin irama kehidupan. Aturan mainnya, seorang penari Pakarena tidak diperkenankan membuka matanya terlalu lebar. Demikian pula dengan gerakan kaki, tidak boleh diangkat terlalu tinggi. Hal ini berlaku sepanjang tarian berlangsung yang memakan waktu sekitar dua jam.
Tidak salah kalau seorang penari Pakarena harus mempersiapkan dirinya dengan prima, baik fisik maupun mental. Gerakan monoton dan melelahkan dalam Tari Pakarena, sedikit banyak menyebabkan kaum perempuan di Sulawesi Selatan, tak begitu berminat menarikannya.
Kalaupun banyak yang belajar sejak anak-anak, tidak sedikit pula yang kemudian enggan melanjutkannya saat memasuki jenjang pernikahan. Namun tidak demikian halnya seorang Mak Joppong. Perempuan tua yang kini usianya memasuki 80 tahun ini, adalah seorang pelestari tari klasik Pakarena.
Ia seorang maestro tari khas Sulawesi Selatan ini. Ia seorang empu Pakarena. Mak Joppong sampai sekarang masih bersedia memenuhi undangan. Untuk tampil menarikan Pakarena yang digelutinya sejak usia 10 tahun ini. Disebut-sebut, perempuan inilah yang mampu menarikan Pakarena dengan utuh, lengkap dengan kesakralannya sebagai sebuah tarian yang mengambarkan kelembutan perempuan Gowa.
READ MORE - pakarena ekspresif

Mengenai Saya

Foto saya
bulukumba, makassar.sul-sel, Indonesia
lelaki sederhana yang tumbuh dari proses zaman yang angkuh.lahir di batukaropa 15 kilometer dari kota bulukumba. anak kedua dari tiga bersaudara pasangan syamsuddin hamja dan masyita.terus berdaya melawan kehidupan yang getir meski sesekali harus ada air mata yang mengalir dalam perenungannya.kini tengah aktif mempersiapkan buah karyanya dalam bentuk puisi.
hujan merindui malam
///////////////////////////////////////////